Waspadai TAIPAN Jakarta Singapore Beijing di Pilkada DKI
Kabar sangat mengagetkan itu saya terima beberapa hari lalu. Tidak terbayang bahwa ada hidden agenda besar yang terkait dengan binis besar ratusan triliunan rupiah di balik pertarungan Pikada DKI Jakarta. Prospek perekonomian dan pembangunan Jakarta yang terus membaik dalam beberapa tahun terakhir ini telah membuat sekelompok pemilik dana besar bergerak secara terintegrasi mengarahkan hasil Pilkada DKI Jakarta sesuai dengan keinganan mereka. Mereka tergabung dalam Jakarta-Singapore-Beijing Connection.
Kelompok ini secara jeli telah melihat peluang bisnis yang menggiurkan dari perencanaan pembangunan Jakarta yang telah disiapkan Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat dalam 10 tahun-15 tahun ke depan. Setidaknya ada 7 proyek strategis bernilai sedikitnya Rp 600 triliun yang rencananya telah dimatangkan pemerintah untuk memperkuat posisi Jakarta sebagai pusat perekonomian utama Indonesia dan sekaligus sebagai kota yang bertaraf internasional, sejajar dengan kota-kota besar dunia lainnya.
Proyek tersebut antara lain adalah:
1. pembangunan MRT jalur Utara-Selatan (Lebak Bulus-Kota) senilai Rp 25 triliun,
2. MRT Barat-Timur (Perbatasan Tangerang-Bekasi Utara) Rp 50 triliun,
3.Pusat Logistik dan pelabuhan di Marunda, Jakarta Utara yang membutuhkan investasi sekitar Rp 150 triliun.
4. Kemudian pembangunan giant sea wall dan water front city yang diperkirakan akan membutuhkan dana sekitar Rp 350 triliun, peluang bisnis yang luar biasa bagi pengusaha properti, terutama yang sudah kehabisan lahan seperti di Singapura. Belum lagi proyek-proyek lainnya seperti pembangunan jalur lingkar kereta dan sejumlah proyek jalan tol.
Titik krusial dalam penguasaan proyek tersebut akan terjadi dalam lima tahun ke depan, dan karena itulah kelompok ini sangat berhasrat kuat agar calon pasangan merekalah yang akan memenangkan Pilkada Jakarta nanti.
Jika target mereka tercapai, dikabarkan proyek pertama yang akan mereka garap adalah menjadi subkontraktor dalam pembangunan MRT Lebak Bulus-Kota yang diperkirakan akan menghabiskan dana sekitar Rp 25 triliun. Bisa dipastikan, kelompok ini tidak akan bisa menjadi main contractor karena pembangunan MRT Lebak Bulus-Kota dibiayai oleh lembaga keuangan Jepang, sehingga mereka akan berupaya keras menjadi subkontraktor.
Dengan menguasai Pilkada DKI dan berhasil mendudukkan jagoannya menjadi pemimpin Jakarta, tidaklah sulit bagi kelompok ini untuk duduk sebagai subkontraktor. Apa pasal? Karena MRT Jakarta sebagai pemegang konsesi pengelola dan pemilik jalur angkutan umum berbasis rel ini, 99% sahamnya dikuasai oleh Pemprov DKI. Bisa dipastikan, jika dewan direksi MRT Jakarta saat ini tidak mendukung upaya tersebut, mereka dengan sangat mudah bisa diganti oleh pihak lain.
Semula memang sulit menerima kebenaran informasi ini. Namun setelah melihat berbagai berbagai fakta bisnis dan sejarah, kebenaran informasi sangat layak dipercaya. Pernahkah mendengar poros Jakarta-Peking di era 1960-an? Poros ini bukan hanya soal politik dan ideologi, tapi juga terkait dengan bisnis.
Pada era tersebut, di pusat kekuasaan sangat terkenal istilah pengusaha Ali-Baba, pakai nama Ali (Indonesia) tapi di belakangnya ada Babah (etnis Tiong Hoa) yang berperan dan mengeruk keuntungan besar. Poros ini terputus setelah peristiwa G 30 September (PKI) yang kemudian membuat Indonesia harus memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China (RRC).
Kemudian ketika awal 1990-an hubungan diplomasi Indonesia-China kembali dibuka, hubungan dagang juga ikut terbuka. Pada saat itulah, berbagai investasi dari pengusaha Indonesia ke China masuk memanfaatkan booming-nya perekonomian negara itu.
Bukan rahasia lagi, tidak terhitung jumlahnya pengusaha Indonesia keturunan China yang berinvestasi di China daratan. Memanfaatkan buruh murah dan berbagai kemudahan mereka memproduksi barang di sana, kemudian dijual ke Indonesia untuk memanfaatkan pasar dalam negeri kita. Barang itu bisa langsung masuk ke Indonesia, atau melalui perusahaan yang menjadi operator mereka di Singapura.
Jejak lain Jakarta-Singapore-Beijing sepertinya juga terlihat ini dari kontrak penjualan gas dari ladang Tangguh, Papua dengan harga murah dalam jangka panjang ke China. Sampai saat ini harga gas alam cair (LNG) dari Lapangan Tangguh yang dikirim ke Fujian, China, hanya US$ 3,5 per MMBTU, sangat jauh di bawah harga pasar saat ini yang mencapai di atas US$ 15 per MMBTU.
Keputusan penjualan itu dilakukan pada 2002, hanya beberapa bulan setelah Megawati Soekarnoputri naik menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden. Sampai saat ini, pemerintah Indonesia kesulitan untuk melakukan renegosiasi kontrak yang sangat merugikan tersebut, karena terikat dengan kontrak internasional yang memang tidak bisa sembarangan bisa dikaji ulang. Meskipun sangat merugikan, pemerintah Indonesia tidak bisa semena-semana memutuskan kontrak yang ditandantangi oleh Megawati saat menjadi sebagai presiden ketika itu.
Jejaknya juga tercium dalam penjualan 45% saham PT Indosat milik pemerintah oleh Laksamana Sukardi ketika menjadi Menteri BUMN di Era pemerintahan Megawati kepada Singapore Technologies (ST) Telemedia pada 2003. Bukan hanya karena nilai penjualannya yang menjadi masalah, penjualan saham membuat Singapura memonopoli kepemilikan saham dua BUMN yaitu PT Indosat dan PT Telkomsel (35% sahamnya dikuasai oleh Singapore Telecom atau Singtel).
Meski ST Telemedia dan Singtel adalah dua perusahaan yang berbeda, namun keduanya adalah sama-sama anak perusahaan Temasek. Sulit untuk mengatakan Laksamana sama sekali tidak tahu bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki kaitan sehingga transaksi penjualan saham Indosat itu memberikan kekuatan kepada Singapura memonopoli bisnis telepon seluler Indonesia.
Rahasia itu baru terungkap setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada 2007 mendapat laporan pihak ketiga. Dari investigasi KPPU, terbukti transaksi penjualan saham Indosat kepada ST Telemedia sangat merugikan Indonesia.
KPPU menemukan fakta kepemilikan silang Temasek di Indosat dan Telkomsel telah menimbulkan kerugian konsumen di industri seluler sebesar Rp 14,7-30,8 triliun selama 2003-2006. “Kami melihat hubungan sebab-akibat yang jelas antara kepemilikan silang Temasek dengan kerugian di industri seluler,” demikian keputusan KPPU. Lembaga ini juga mencatat kerugian konsumen mencapai Rp 9,8-Rp 24 triliun per tahun akibat biaya interkoneksi yang tinggi.
KPPU juga menghukum, Temasek sebagai holding harus menjual kepemilikan anak perusahaan di Indosat atau Telkomsel. Akhirnya, Temasek memerintahkan ST Telemedia melepas saham Indosat yang dan kemudian dijual kepada Qatar Telecommunication (Q-Tel).
Parahnya, setelah Q-Tel masuk, ketahuan bahwa selama menguasai Indosat, ST Telemedia telah melakukan pembelian barang-barang yang tidak bisa dimanfaatkan senilai Rp 400 miliar, dan ini menjadi beban perusahaan milik negara tersebut.
Terkait dengan Pilkada DKI Jakarta, dari fakta sejarah dan fakta peta bisnis sangat mudah mengetahui, pasangan manakah yang paling berpeluang dijadikan partner oleh Jakarta-Singapura-Beijing Connection? Kita memang tidak boleh berburuk sangka, tapi mengkritisi sesuatu dengan objektif adalah wajib hukumnya.
Ini sekali lagi bukan SARA. Tapi pada faktanya perampok uang negara dari belahan kultur terbanyak dan terakus adalah para TAIPAN
Apakah mungkin pasangan Fauzi (Foke)-Nara, atau malah pasangan Jokowi-Ahok (Zhong Wan Xie) yang didukung oleh PDI-P dan Gerindra yang sangat berpotensi digaet oleh Jakarta-Singapore-Beijing Connection?, Wallahu ‘alam. Hanya Allah Yang Maha Tahu, Allah Yang Maha Esa, Allah Yang Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan.
Kabar sangat mengagetkan itu saya terima beberapa hari lalu. Tidak terbayang bahwa ada hidden agenda besar yang terkait dengan binis besar ratusan triliunan rupiah di balik pertarungan Pikada DKI Jakarta. Prospek perekonomian dan pembangunan Jakarta yang terus membaik dalam beberapa tahun terakhir ini telah membuat sekelompok pemilik dana besar bergerak secara terintegrasi mengarahkan hasil Pilkada DKI Jakarta sesuai dengan keinganan mereka. Mereka tergabung dalam Jakarta-Singapore-Beijing Connection.
Kelompok ini secara jeli telah melihat peluang bisnis yang menggiurkan dari perencanaan pembangunan Jakarta yang telah disiapkan Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat dalam 10 tahun-15 tahun ke depan. Setidaknya ada 7 proyek strategis bernilai sedikitnya Rp 600 triliun yang rencananya telah dimatangkan pemerintah untuk memperkuat posisi Jakarta sebagai pusat perekonomian utama Indonesia dan sekaligus sebagai kota yang bertaraf internasional, sejajar dengan kota-kota besar dunia lainnya.
Proyek tersebut antara lain adalah:
1. pembangunan MRT jalur Utara-Selatan (Lebak Bulus-Kota) senilai Rp 25 triliun,
2. MRT Barat-Timur (Perbatasan Tangerang-Bekasi Utara) Rp 50 triliun,
3.Pusat Logistik dan pelabuhan di Marunda, Jakarta Utara yang membutuhkan investasi sekitar Rp 150 triliun.
4. Kemudian pembangunan giant sea wall dan water front city yang diperkirakan akan membutuhkan dana sekitar Rp 350 triliun, peluang bisnis yang luar biasa bagi pengusaha properti, terutama yang sudah kehabisan lahan seperti di Singapura. Belum lagi proyek-proyek lainnya seperti pembangunan jalur lingkar kereta dan sejumlah proyek jalan tol.
Titik krusial dalam penguasaan proyek tersebut akan terjadi dalam lima tahun ke depan, dan karena itulah kelompok ini sangat berhasrat kuat agar calon pasangan merekalah yang akan memenangkan Pilkada Jakarta nanti.
Jika target mereka tercapai, dikabarkan proyek pertama yang akan mereka garap adalah menjadi subkontraktor dalam pembangunan MRT Lebak Bulus-Kota yang diperkirakan akan menghabiskan dana sekitar Rp 25 triliun. Bisa dipastikan, kelompok ini tidak akan bisa menjadi main contractor karena pembangunan MRT Lebak Bulus-Kota dibiayai oleh lembaga keuangan Jepang, sehingga mereka akan berupaya keras menjadi subkontraktor.
Dengan menguasai Pilkada DKI dan berhasil mendudukkan jagoannya menjadi pemimpin Jakarta, tidaklah sulit bagi kelompok ini untuk duduk sebagai subkontraktor. Apa pasal? Karena MRT Jakarta sebagai pemegang konsesi pengelola dan pemilik jalur angkutan umum berbasis rel ini, 99% sahamnya dikuasai oleh Pemprov DKI. Bisa dipastikan, jika dewan direksi MRT Jakarta saat ini tidak mendukung upaya tersebut, mereka dengan sangat mudah bisa diganti oleh pihak lain.
Semula memang sulit menerima kebenaran informasi ini. Namun setelah melihat berbagai berbagai fakta bisnis dan sejarah, kebenaran informasi sangat layak dipercaya. Pernahkah mendengar poros Jakarta-Peking di era 1960-an? Poros ini bukan hanya soal politik dan ideologi, tapi juga terkait dengan bisnis.
Pada era tersebut, di pusat kekuasaan sangat terkenal istilah pengusaha Ali-Baba, pakai nama Ali (Indonesia) tapi di belakangnya ada Babah (etnis Tiong Hoa) yang berperan dan mengeruk keuntungan besar. Poros ini terputus setelah peristiwa G 30 September (PKI) yang kemudian membuat Indonesia harus memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China (RRC).
Kemudian ketika awal 1990-an hubungan diplomasi Indonesia-China kembali dibuka, hubungan dagang juga ikut terbuka. Pada saat itulah, berbagai investasi dari pengusaha Indonesia ke China masuk memanfaatkan booming-nya perekonomian negara itu.
Bukan rahasia lagi, tidak terhitung jumlahnya pengusaha Indonesia keturunan China yang berinvestasi di China daratan. Memanfaatkan buruh murah dan berbagai kemudahan mereka memproduksi barang di sana, kemudian dijual ke Indonesia untuk memanfaatkan pasar dalam negeri kita. Barang itu bisa langsung masuk ke Indonesia, atau melalui perusahaan yang menjadi operator mereka di Singapura.
Jejak lain Jakarta-Singapore-Beijing sepertinya juga terlihat ini dari kontrak penjualan gas dari ladang Tangguh, Papua dengan harga murah dalam jangka panjang ke China. Sampai saat ini harga gas alam cair (LNG) dari Lapangan Tangguh yang dikirim ke Fujian, China, hanya US$ 3,5 per MMBTU, sangat jauh di bawah harga pasar saat ini yang mencapai di atas US$ 15 per MMBTU.
Keputusan penjualan itu dilakukan pada 2002, hanya beberapa bulan setelah Megawati Soekarnoputri naik menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden. Sampai saat ini, pemerintah Indonesia kesulitan untuk melakukan renegosiasi kontrak yang sangat merugikan tersebut, karena terikat dengan kontrak internasional yang memang tidak bisa sembarangan bisa dikaji ulang. Meskipun sangat merugikan, pemerintah Indonesia tidak bisa semena-semana memutuskan kontrak yang ditandantangi oleh Megawati saat menjadi sebagai presiden ketika itu.
Jejaknya juga tercium dalam penjualan 45% saham PT Indosat milik pemerintah oleh Laksamana Sukardi ketika menjadi Menteri BUMN di Era pemerintahan Megawati kepada Singapore Technologies (ST) Telemedia pada 2003. Bukan hanya karena nilai penjualannya yang menjadi masalah, penjualan saham membuat Singapura memonopoli kepemilikan saham dua BUMN yaitu PT Indosat dan PT Telkomsel (35% sahamnya dikuasai oleh Singapore Telecom atau Singtel).
Meski ST Telemedia dan Singtel adalah dua perusahaan yang berbeda, namun keduanya adalah sama-sama anak perusahaan Temasek. Sulit untuk mengatakan Laksamana sama sekali tidak tahu bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki kaitan sehingga transaksi penjualan saham Indosat itu memberikan kekuatan kepada Singapura memonopoli bisnis telepon seluler Indonesia.
Rahasia itu baru terungkap setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada 2007 mendapat laporan pihak ketiga. Dari investigasi KPPU, terbukti transaksi penjualan saham Indosat kepada ST Telemedia sangat merugikan Indonesia.
KPPU menemukan fakta kepemilikan silang Temasek di Indosat dan Telkomsel telah menimbulkan kerugian konsumen di industri seluler sebesar Rp 14,7-30,8 triliun selama 2003-2006. “Kami melihat hubungan sebab-akibat yang jelas antara kepemilikan silang Temasek dengan kerugian di industri seluler,” demikian keputusan KPPU. Lembaga ini juga mencatat kerugian konsumen mencapai Rp 9,8-Rp 24 triliun per tahun akibat biaya interkoneksi yang tinggi.
KPPU juga menghukum, Temasek sebagai holding harus menjual kepemilikan anak perusahaan di Indosat atau Telkomsel. Akhirnya, Temasek memerintahkan ST Telemedia melepas saham Indosat yang dan kemudian dijual kepada Qatar Telecommunication (Q-Tel).
Parahnya, setelah Q-Tel masuk, ketahuan bahwa selama menguasai Indosat, ST Telemedia telah melakukan pembelian barang-barang yang tidak bisa dimanfaatkan senilai Rp 400 miliar, dan ini menjadi beban perusahaan milik negara tersebut.
Terkait dengan Pilkada DKI Jakarta, dari fakta sejarah dan fakta peta bisnis sangat mudah mengetahui, pasangan manakah yang paling berpeluang dijadikan partner oleh Jakarta-Singapura-Beijing Connection? Kita memang tidak boleh berburuk sangka, tapi mengkritisi sesuatu dengan objektif adalah wajib hukumnya.
Ini sekali lagi bukan SARA. Tapi pada faktanya perampok uang negara dari belahan kultur terbanyak dan terakus adalah para TAIPAN
- Eddi Tanzil di era awal 1990-an, membobol kas Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp1,5 triliun. Uang itu dibawa kabur ke luar negeri, tapi di negeri mana uang itu disimpan, tidak ada yang tahu. Yang pasti uang itu, jumlahnya sangat fantastis.
- Ada Hendra Rahardja bekas pemilik Bank Harapan Santosa yang kabur ke Australia setelah menerima uang dari Bank Indonesia lebih dari Rp1 triliun.
- Penjualan Saham INDOSAT pada era Megawati
- Sanyoto Tanuwidjaya pemilik PT Great River, produsen
pakaian bermerek papan atas. Sanyoto meninggalkan Indonesia setelah
menerima penambahan kredit dari bank pemerintah. Yang terbaru tapi
sebetulnya merupakan isu lama adalah Djoko Chandra. Berawal dari kasus
cessie Bank Bali, Djoko berhasil meraup tidak kurang dari Rp450 miliar.
Ketika hendak ditahan Djoko kabur ke luar negeri dan kini dikabarkan
menjadi warga negara Papua Nugini.
- Dan sekarang yang sedang ramai adalah melonjaknya harga TEMPE dan TAHU karena kelangkaan Kedelai. Beberapa fakta dilapangan para Taipan lah yang bermain dalam hal ini.
Apakah mungkin pasangan Fauzi (Foke)-Nara, atau malah pasangan Jokowi-Ahok (Zhong Wan Xie) yang didukung oleh PDI-P dan Gerindra yang sangat berpotensi digaet oleh Jakarta-Singapore-Beijing Connection?, Wallahu ‘alam. Hanya Allah Yang Maha Tahu, Allah Yang Maha Esa, Allah Yang Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.