Membeli Sebuah Kemasan
Masih segar dalam ingatan kita betapa heboh dan penuh kejutan tak terduga dalam pilkada DKI Jakarta putaran 1. Pasangan Jokowi-Ahok yang sebelumnya tidak terlalu diperhitungkan
 oleh banyak pengamat termasuk lembaga survey tiba-tiba mendapatkan 
hasil suara yang fantastis.. hampir disemua wilayah kecuali kabupaten 
kepulauan seribu jokowi-ahok menang. Kasus ini menarik untuk di telisik 
lebih jauh mengingat banyak hal yang terjadi dalam putaran pertama 
pilkada DKI jakarta ini berjalan 
diluar kebiasaan yang ada, bahkan tak urung metodologi ilmiah semisal 
riset-pun tak mampu menjawab apa sebenarnya yang terjadi di jakarta. 
Mungkin masalahnya tidak se rumit anggapan banyak pengamat seperti 
diuraikan diatas, persoalannya justru sangat simpel. Jawaban atas 
kemenagan pasangan No 3 di putaran pertama ini justru karena Jokowi 
sedang mendapatkan previlage atas jalinan mesranya selama ini dengan 
media. Sepak terjangnya dengan mobil esemka, kabar mengenai award 10 
wali kota terbaik dunia membekas dalam benak masyarakat jakarta meski 
belum tentu apa yang menjadi perbincangan banyak orang mengenai wali 
kota solo ini sesuai seperti kenyataannya. Mengingat ini ranah politik. soal pencitraan belaka. Rekayasa realitas. Lagi-lagi kemasan menjadi penentu bagi pilihan orang dalam membeli.
JAKARTA BARU
Isu 
perubahan menjadi sebuah jargon yang bisa menyihir banyak orang untuk 
mendekat, karena disetiap perubahan tersimpan harapan akan perbaikan. 
Namun benarkah jakarta baru seperti yang dijanjikan jokowi-ahok adalah 
sebuah manivestasi dari cita-cita politik mulia. atau hanya mantra 
pemikat belaka? Mari kita coba membedahnya. Ternyata sampai detik ini 
tak ada satupun yang bisa meyakinkan penulis tentang apa saja yang akan 
digunakan jokowi-ahok untuk perubahan jakarta tersebut, ruang-ruang 
dialogis sudah dibuka seluas-luasnya untuk menguji ide perubahan jakarta
 tersebut. minimal varibael-variabel apa saja yang perlu dikabarkan untuk bisa menjadikan jakarta seperti yang diperjanjikan. Jakarta Baru, slogan yang penuh bujuk rayu. sedikitnya ada pengalaman penulis ketika mencoba untuk lebih jauh mempertanyakan tentang gagasan jakarta baru melalui media Twitter.
 namun tak ada satu-pun dari sekian banyak pendukung atau bisa jadi juga
 malah bagian dari timses jokowi ahok yang bisa memberikan penjelasan 
secara konseptual mengenai bagaimana langkah implementasi dari jargon “Jakarta Baru” yang mereka dagangkan. Yang ada justru penulis diminta untuk menunggu dan melihat  bagaimana
 kedepan seandainya jokowi terpilih menjadi gubernur. jawaban “lihat 
saja nanti” menurut hemat penulis adalah jawaban yang paling primitiv 
dalam era modern dan ilmu pengetahuan ini. jika tim jokowi-ahok tidak 
bisa menjelaskan apa yang dimaksud jakarta baru terebut maka tak ayal masyarakat sudah dibawa kedalam kondisi imajiner yang abstrak.. bergumul dengan harapan yang belum pasti.
Kampanye Transformatif
Dalam pandangan leon ostergaard ada bebrapa hal dalam
 tahapan dalam kampanye. Pertama, mengidentifikasi masalah faktual yang 
dirasakan. Syarat kampanye sukses harus berorientasi pada isu (issues 
oriented), bukan semata berorientasi pada citra (image oriented). 
Kampanye merupakan momentum tepat untuk menunjukkan bahwa kandidat 
memahami persoalan, bukan hanya menjual imajinasi dan senyum palsu. Bias menjadi inpirator bagi pemecahan masalah (problem solving). Pendapat penulis bahwa pasangan jokowi-ahok telah gagal menghardikan tiga hal seperti yang di katakan leon ostergaard tersebut.
 Sisi yang paling menonjol dalam kampanye JOKOHOK hanya bertumpu pada 
Brand image, sementara ada banyak faktor lain dilupakan. Dalam konteks 
ini model kampanye tersebut jauh untuk bisa dikatakan kampanye yang 
transformatif. Kehilangan aspek edukasinya. ketajaman visi misi serta 
program kerja tidak bisa diakses dengan baik oleh publik dalam kampanye 
ala JOKOHOK.
Fenomena
 baju kotak-kotak tak lebih hanya sebagai image oriented saja. Dominasi 
image dalam sebuah kampanye dalam jangka panjang memiliki efek yang 
tidak bagus terhadap kandidat, karena pencitraan yang berskala massif
 dalam kurun waktu yang lama akan menimbulkan kultus. Memang hal ini 
tidak sepenuhnya benar karena merupakan persepsi dari penulis. akan
 tetapi jika melihat perkembangan pencitraan jokowi-ahok belakangan ini 
arah menuju pengkultusan tersebut cukup terbuka lebar. Kalau kita amati 
di media massa tim sukses jokowi-ahaok sedang mempersiapkan boneka 
kotak-kotak mirip jokohok, gantungan konci dan beberapa cindera mata lainnya. Bonek-boneka tersebut akan dijualnya secara massal dengan dalih hasil dari penjualan boneka akan digunakan
 untuk modal biaya kampanye di putaran kedua. Sekilas memang ini normal 
saja bahkan terkesan bagus di mata masyarakat karena seolah-olah harus 
melibatkan partisipasi publik dalam membiayai ongkos politik yang akan dikeluarkan dengan jualan boneka. Ada dua keuntungan sekaligus yg bisa diambil oleh jokohok dengan berjualan boneka. Pertama: brand mereka dengan corak kotak-kotaknya semakim booming. Kedua: bisa bermain-m
ain dengan 
persepsi public. Bermain dengan persepsi public yang penulis maksud 
adalah jokohok ingin menarik simpati dan mau menanamkan kesan dalam 
benak semua orang bahwa dia adalah pemimpin sederhana dan tidak punya 
modal capital yang memadai,  meski banyak gosip beredar bahwa sebenarnya logistik jokowi-ahok ini unlimited karena di sokong oleh beberapa pengusaha kakap.
 Konon kabarnya bloking fund hasil saweran pengusaha untuk biaya jokohok
 luar biasa banyak, bahkan kabarnya paling banyak diantara para kandidat
 lainnya. Terlepas bahwa isu ini benar atau salah akan tetapi 
gosip-gosip seperti ini sudah menyebar kemana-mana. Rasanya memang tak 
ada asap bila tak ada api.
Nah, budaya Kultus sebenarnya bertolak belakang dengan demokrasi. dalam iklim negara demokrasi yang masih belum terkonsolidasi dengan baik seperti di negara kita ini diperlukan bersikap
 mawas dan hati-hati dengan potensi sekecil apapun yang bisa menumbuhkan
 sikap mengkultuskan terhadap calon pemimpin. Budaya kultus itu adalah 
kebiasaan diktator. Penulis khawatir nanti setelah sukses
 dengan baju kotak-kotak kemudian boneka kotak-kotak dan pada akhirnya 
bikin monumen patung kotak-kotak seperti para pemimpin-pemimpin diktator
 diluar sana yang selalu ingin menonjolkan sisi lain dalam dirinya yang 
identik dan berbeda dengan orang pada umumnya. Nauzubillahi min dzalik, semoga kita dijauhkan dari pemimpin yang ingin dikultuskan dan Tiran.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.