VISI DAN MISI

SARANA EDUKASI POLITIK WARGA DARI SUDUT PANDANG BERBEDA

Wednesday, August 1, 2012

Retorika Sloganistik Jokowi Ahok

Membeli Sebuah Kemasan
Masih segar dalam ingatan kita betapa heboh dan penuh kejutan tak terduga dalam pilkada DKI Jakarta putaran 1. Pasangan Jokowi-Ahok yang sebelumnya tidak terlalu diperhitungkan oleh banyak pengamat termasuk lembaga survey tiba-tiba mendapatkan hasil suara yang fantastis.. hampir disemua wilayah kecuali kabupaten kepulauan seribu jokowi-ahok menang. Kasus ini menarik untuk di telisik lebih jauh mengingat banyak hal yang terjadi dalam putaran pertama pilkada DKI jakarta ini berjalan diluar kebiasaan yang ada, bahkan tak urung metodologi ilmiah semisal riset-pun tak mampu menjawab apa sebenarnya yang terjadi di jakarta. Mungkin masalahnya tidak se rumit anggapan banyak pengamat seperti diuraikan diatas, persoalannya justru sangat simpel. Jawaban atas kemenagan pasangan No 3 di putaran pertama ini justru karena Jokowi sedang mendapatkan previlage atas jalinan mesranya selama ini dengan media. Sepak terjangnya dengan mobil esemka, kabar mengenai award 10 wali kota terbaik dunia membekas dalam benak masyarakat jakarta meski belum tentu apa yang menjadi perbincangan banyak orang mengenai wali kota solo ini sesuai seperti kenyataannya. Mengingat ini ranah politik. soal pencitraan belaka. Rekayasa realitas. Lagi-lagi kemasan menjadi penentu bagi pilihan orang dalam membeli.

JAKARTA BARU
Isu perubahan menjadi sebuah jargon yang bisa menyihir banyak orang untuk mendekat, karena disetiap perubahan tersimpan harapan akan perbaikan. Namun benarkah jakarta baru seperti yang dijanjikan jokowi-ahok adalah sebuah manivestasi dari cita-cita politik mulia. atau hanya mantra pemikat belaka? Mari kita coba membedahnya. Ternyata sampai detik ini tak ada satupun yang bisa meyakinkan penulis tentang apa saja yang akan digunakan jokowi-ahok untuk perubahan jakarta tersebut, ruang-ruang dialogis sudah dibuka seluas-luasnya untuk menguji ide perubahan jakarta tersebut. minimal varibael-variabel apa saja yang perlu dikabarkan untuk bisa menjadikan jakarta seperti yang diperjanjikan. Jakarta Baru, slogan yang penuh bujuk rayu. sedikitnya ada pengalaman penulis ketika mencoba untuk lebih jauh mempertanyakan tentang gagasan jakarta baru melalui media Twitter. namun tak ada satu-pun dari sekian banyak pendukung atau bisa jadi juga malah bagian dari timses jokowi ahok yang bisa memberikan penjelasan secara konseptual mengenai bagaimana langkah implementasi dari jargon “Jakarta Baru” yang mereka dagangkan. Yang ada justru penulis diminta untuk menunggu dan melihat bagaimana kedepan seandainya jokowi terpilih menjadi gubernur. jawaban “lihat saja nanti” menurut hemat penulis adalah jawaban yang paling primitiv dalam era modern dan ilmu pengetahuan ini. jika tim jokowi-ahok tidak bisa menjelaskan apa yang dimaksud jakarta baru terebut maka tak ayal masyarakat sudah dibawa kedalam kondisi imajiner yang abstrak.. bergumul dengan harapan yang belum pasti.
Kampanye Transformatif
Dalam pandangan leon ostergaard ada bebrapa hal dalam tahapan dalam kampanye. Pertama, mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan. Syarat kampanye sukses harus berorientasi pada isu (issues oriented), bukan semata berorientasi pada citra (image oriented). Kampanye merupakan momentum tepat untuk menunjukkan bahwa kandidat memahami persoalan, bukan hanya menjual imajinasi dan senyum palsu. Bias menjadi inpirator bagi pemecahan masalah (problem solving). Pendapat penulis bahwa pasangan jokowi-ahok telah gagal menghardikan tiga hal seperti yang di katakan leon ostergaard tersebut. Sisi yang paling menonjol dalam kampanye JOKOHOK hanya bertumpu pada Brand image, sementara ada banyak faktor lain dilupakan. Dalam konteks ini model kampanye tersebut jauh untuk bisa dikatakan kampanye yang transformatif. Kehilangan aspek edukasinya. ketajaman visi misi serta program kerja tidak bisa diakses dengan baik oleh publik dalam kampanye ala JOKOHOK.
Fenomena baju kotak-kotak tak lebih hanya sebagai image oriented saja. Dominasi image dalam sebuah kampanye dalam jangka panjang memiliki efek yang tidak bagus terhadap kandidat, karena pencitraan yang berskala massif dalam kurun waktu yang lama akan menimbulkan kultus. Memang hal ini tidak sepenuhnya benar karena merupakan persepsi dari penulis. akan tetapi jika melihat perkembangan pencitraan jokowi-ahok belakangan ini arah menuju pengkultusan tersebut cukup terbuka lebar. Kalau kita amati di media massa tim sukses jokowi-ahaok sedang mempersiapkan boneka kotak-kotak mirip jokohok, gantungan konci dan beberapa cindera mata lainnya. Bonek-boneka tersebut akan dijualnya secara massal dengan dalih hasil dari penjualan boneka akan digunakan untuk modal biaya kampanye di putaran kedua. Sekilas memang ini normal saja bahkan terkesan bagus di mata masyarakat karena seolah-olah harus melibatkan partisipasi publik dalam membiayai ongkos politik yang akan dikeluarkan dengan jualan boneka. Ada dua keuntungan sekaligus yg bisa diambil oleh jokohok dengan berjualan boneka. Pertama: brand mereka dengan corak kotak-kotaknya semakim booming. Kedua: bisa bermain-m
ain dengan persepsi public. Bermain dengan persepsi public yang penulis maksud adalah jokohok ingin menarik simpati dan mau menanamkan kesan dalam benak semua orang bahwa dia adalah pemimpin sederhana dan tidak punya modal capital yang memadai, meski banyak gosip beredar bahwa sebenarnya logistik jokowi-ahok ini unlimited karena di sokong oleh beberapa pengusaha kakap. Konon kabarnya bloking fund hasil saweran pengusaha untuk biaya jokohok luar biasa banyak, bahkan kabarnya paling banyak diantara para kandidat lainnya. Terlepas bahwa isu ini benar atau salah akan tetapi gosip-gosip seperti ini sudah menyebar kemana-mana. Rasanya memang tak ada asap bila tak ada api.
Nah, budaya Kultus sebenarnya bertolak belakang dengan demokrasi. dalam iklim negara demokrasi yang masih belum terkonsolidasi dengan baik seperti di negara kita ini diperlukan bersikap mawas dan hati-hati dengan potensi sekecil apapun yang bisa menumbuhkan sikap mengkultuskan terhadap calon pemimpin. Budaya kultus itu adalah kebiasaan diktator. Penulis khawatir nanti setelah sukses dengan baju kotak-kotak kemudian boneka kotak-kotak dan pada akhirnya bikin monumen patung kotak-kotak seperti para pemimpin-pemimpin diktator diluar sana yang selalu ingin menonjolkan sisi lain dalam dirinya yang identik dan berbeda dengan orang pada umumnya. Nauzubillahi min dzalik, semoga kita dijauhkan dari pemimpin yang ingin dikultuskan dan Tiran.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.