Pada tanggal 17 April 2012 Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) memasuki usianya yang ke-52 tahun. Banyak hal yang perlu
diceritakan, diluruskan, dievaluasi, dan direfleksi. Organisasi ini didirikan
di Gedung Madrasah Muallimin NU Wonokromo Surabaya pada tanggal 17 April 1960.
Kelahiran PMII yang disponsori oleh 13 orang tokoh mahasiswa nahdliyin. Mereka
berasal dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya,
Malang, dan Surabaya. Delapan kota inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya
PMII di Indonesia. Itulah fakta sejarah yang selama ini diketahui. Dibalik
kelahirannya itu, ada satu kota kecil yang memiliki kontribusi besar dalam
membangun dan membesarkan organisasi PMII. Adalah Kota Surakarta atau yang juga
akrab disapa Kota Solo. Tidak menafikan kota lainnya, Solo memiliki kontribusi
yang besar dalam membidani lahirnya PMII. Era 1960-an, pertarungan politik
begitu kental di kota ini. Pergesekan sering terjadi, utamanya antara Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan Parati Nahdlatul Ulama’ (PNU).
PADA WAKTU ITU WALIKOTA SOLO DIPIMPIN OLEH OETOMO Ramelan, salah
seorang kader PKI.
Tidak jarang ketika dalam berbagai
acara, kader-kader komunis selalu diutamakan. Sikap diskriminatif itu tampak
misalnya dalam acara rutin pertunjukan kesenian di Balaikota Solo. Lekra yang
merupakan lembaga kesenian (yang identik) PKI mendapatkan porsi yang lebih
besar jika dibandingkan dengan Lesbumi, lembaga kesenian PNU. Sikap
diskriminatif dan perasaan satu faham (Ahlussunah wal-jama’ah) itulah yang
menyatukan kader-kader PNU Kota Solo. begitu kuatnya solidaritas antar-kader,
mereka juga mendirikan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMUNU). Organisasi inilah
yang menjadi cikal bakal kelahiran PMII. Adalah Mustahal Ahmad, warga Keprabon
Solo yang memiliki inisiatif untuk mendirikan wadah tersebut. Beliau adalah
kader nahdliyin terbaik yang pernah dimiliki oleh Kota Bengawan. Sebelum
menjadi PMII, Mustahal aktif mengisi kegiatan di KMNU yang kelak melahirkan
IPNU-IPPNU Solo. Pada saat itu, ada tiga pondok pesantren yang menjadi basis
perjuangan PNU di Kota Solo, yaitu ponjok Jenengan, Seraten, dan al-Muayyad.
Dari tiga pondok inilah melahirkan kader-kader pioner yang menjadi pengurus
IPNU-IPPNU di Kota Solo. Ketika PMII benar-benar lahir, Solo menjadi salah satu
deklarator, ada juga tiga universitas yang ikut menyokong berdirinya PMII di
Solo, yaitu Universitas Cokroaminoto (Pada tahun 1975 dileburkan menjadi AAN
sebelum menjadi Universitas Sebelas Maret atau UNS), Univeritas Nahdlatul
Ulama’ (Universitas ini diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1958), dan
Universitas Islam Indonesia (sekarang SMA al-Islam Solo). Kiprah PMII Solo
tidak hanya sebagai deklarator secara nasional, tetapi juga menjadi tuan rumah
dalam Kongres I PMII pada tanggal 23 sampai 26 Desember 1961 di Tawangmangu,
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Pada saat itu PMII memiliki 13 Cabang,
antara lain, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, Ciputat,
Malang, Makasar, Surabaya, Banjarmasin, Padang, Aceh, dan Cirebon. Hasil dari
Kongres I PMII memilih sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum Pengurus
Pusat PMII untuk periode 1961-1963. Dalam kongres juga melahirkan “Deklarasi Tawangmangu”
yang berisi pernyataan sikap tentang sosialisme Indonesia, pendidikan nasional,
kebudayaan nasioanl, dan tentang tanggung jawab sebagai kader PMII. PMII Solo
dideklarasikan di Loji Wetan pada akhir November 1960. Hadir dalam acara itu
kader-kader PNU Kota Solo dan dari Jakarta. Uniknya, kelahiran organisasi baru
ini (baca :PMII) tidak menyebabkan perpecahan di tubuh PNU. Justru IPNU yang
merupakan organisasi terlahir lebih dulu merasa memiliki kakak kandung.
Hubungan tersebut terus berlanjut hingga sekarang. Gerakan Masa Kini Pada
awalnya PMII lahir disiapkan untuk mendukung Partai Nahdlatul Ulama’ (PNU).
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, sebagai gerakan PMII sadar bahwa
langkah yang diambil kurang strategis. Oleh karena itulah lahir Deklarasi
Murnajati di Malang, Jawa timur pada tanggal 14 Juli 1972. Gerakan yang dipilih
oleh mahasiswa, termasuk PMII tahun 1960-an dan tahun 1990-an hampir sama,
yaitu cenderung memilih gerakan jalanan. Hal itu dianggap sesuai karena keadaan
yang memaksa untuk demikian. Ternyata, ketika pemerintah berhasil digulingkan,
ternyata hal itu tidak mengubah ke arah yang lebih baik. Justru sebaliknya.
Misalnya saja gerakan 1998 di mana gerakan mahasiswa bersatu menggulingkan
rezim. Tetapi apa yang terjadi setelah itu? Kondisinya tidak berbeda jauh
dengan kondisi sebelumnya. Itu sedikit cerita masa lalu. Tantangannya sekarang
adalah lebih sulit. Di era keterbukaan informasi, PMII yang mengeklaim sebagai
kaum gerakan harus pandai memanfaatkan momentum dan melakukan pendidikan kepada
kader. Sekarang tidak hanya mengkritik pemerintah dan berteriak di jalanan. Itu
memang tidak harus ditinggalkan sepenuhnya. Gerakan mahasiswa di era sekarang
selain bisa mengkritik juga harus bisa memberikan solusi strategis bagi pemerintah.
Ditulis di Kantor PMII Cabang Solo, Selasa (17/4) pukul 12.55 WI
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.